GERMAN
Jerman
sangat mengutamakan peraturan dan disiplin, dan mereka melakukan dengan
sangat serius. Di mata beberapa orang, dalam banyak kasus, orang Jerman
kaku, tidak fleksibel, dan bahkan sedikit tidak manusiawi.
Jerman
mengutamakan peraturan tentang kebersihan dan kerapian. Di Jerman, baik
taman, jalan-jalan, atau teater atau tempat-tempat umum lainnya, dan di
mana-mana terlihat rapi. Jerman juga menekankan peraturan untuk memakai
pakaian pada tempatnya. Saat bekerja memakai pakaian kerja, saat di
rumah meskipun Anda bisa berpakaian santai, tapi selama ketika ada tamu
datang, atau pergi keluar, anda harus berpakaian rapi. Di teater, para
wanita mengenakan rok panjang, atau setidaknya mengenakan pakaian gelap.
* Menghargai waktu *
Jerman
sangat menghargai waktu, jika ada janji, tidak akan berubah waktu
dengan mudah. Orang Jerman jika diundang ke rumah orang lain atau pergi
keluar untuk mengunjungi teman, akan tiba dengan tepat waktu , tidak
membuang-buang waktu dengan datang lebih awal ataupun terlambat.
Di
Jerman jika tidak ada acara khusus, mereka harus menghargai tetangga
sekitar dengan tidak diperbolehkan menbuat kebisingandari pukul
20:00-8:00 hari berikutnya. Jika ada acara khusus, harus minta izin di
awal ke tetangga-tetangga. Jika tidak, akan menuai protes dari tetangga
dan bahkan akan dikasuskan polisi.
* Tulus dan fokus pada etiket *
Berurusan
dengan orang Jerman tidaklah memiliki banyak kesulitan. Dalam
kebanyakan kasus, yang bisa mereka lakukan, mereka akan segera
memberitahu Anda “bisa melakukannya.” Di mana mereka tidak dapat
dilakukan, mereka jelas akan memberitahu Anda “Tidak”, atau memberi
jawaban yang jelas. Tentu saja, tingkat hubungan pribadi tidak akan
pengaruh pada hubungan pekerjaan.
Mirip
dengan kebanyakan negara Barat, Jerman lebih memperhatikan etiket.
Mereka bertemu, selalu menyapa “Hello.” .Bertemu dengan teman mereka
akan berjabat tangan dulu. Jika teman lama mereka akan saling memeluk.
Pada acara formal mereka juga akan mencium tangan wanita sebagai rasa
hormat.
Memberi
hadiah adalah sangat dihargai di Jerman. Ketika diundang ke rumah orang
lain, biasanya datang dengan hadiah. Kebanyakan orang dengan karangan
bunga, beberapa tamu laki-laki dengan botol anggur, ada juga yang
membawakan buku atau album. Dalam menyambut para tamu (seperti stasiun,
bandara dan tempat-tempat lain) untuk mengunjungi pasien, banyak juga
mengirimkan bunga. Biasanya mereka langsung membuka hadiah di depan
pemberi dan mengucapkan terimakasih.
Di
Jerman dan negara-negara Barat lain, perempuan adalah prioritas.
Seperti saat antrian mereka akan mendahulukan perempuan. Dalam berbicara
dengan rekan kerja, orang Jerman sangat berhati-hati untuk menghormati
satu sama lain. Jangan tanya urusan pribadi orang lain (seperti usia
wanita).
Etos Kerja Orang Jerman
Max Weber: The Spirit of Capitalism
Bertindak rasional
Berdisiplin tinggi
Bekerja keras
Berorientasi sukses material
Tidak mengumbar kesenangan
Hemat dan bersahaja
Menabung dan berinvestasi
Duabelas
tahun periode Adolf Hitler merupakan aib bagi bangsa Jerman yang
sebelumnya dikenal sebagai negara yang telah melahirkan filsuf-filsuf
besar, penulis, komposer, dan ilmuwan setara Albert Einstein. Sisi gelap
itu terus membayangi bangsa ini, hingga kini.
”Mungkin
akan sulit bagi orang asing untuk mengerti betapa beban masa lalu itu
telah memengaruhi bangsa Jerman di segala hal,” kata Klaus Liedtke,
Pemimpin Redaksi National Geographic Jerman, yang dilahirkan pada tahun
1944. ”Selama 20 tahun pertama setelah perang berakhir, kami selalu
dihadapkan dan diingatkan pada rasa bersalah itu dan kami tidak bisa
hidup normal,” katanya. ”Tahun-tahun kehidupan awal saya sangat berat.
Saya selalu merasa malu dengan negara saya. Dan di sekolah semua
keburukan ini diajarkan dan ditanamkan. Sulit bagi kami untuk merasa
bangga terhadap negara ini. Karena yang orang luar lihat tentang Jerman
hanyalah 12 tahun masa kepemimpinan Hitler, bahwa Jerman adalah negara
yang menyerang Eropa dua kali dan melakukan kejahatan perang,” ujarnya.
Berdasarkan
survei yang dilakukan Eurobarometer, Jerman memiliki peringkat terendah
di antara 25 anggota Uni Eropa dalam hal kebanggaan nasional (national
pride). Sedangkan survei yang dilakukan majalah Spiegel terhadap 1.000
responden bulan Maret 2005 menunjukkan bahwa nilai ”kesadaran nasional”
(national consciousness) merupakan nilai yang paling rendah (26-31
persen) di antara nilai-nilai lainnya yang dianggap penting dalam
kehidupan rakyat Jerman. Nilai yang tertinggi peringkatnya adalah
kejujuran dan integritas (81-83 persen).
Adakah
ini semua berkaitan dengan beban sejarah itu? ”Ya. Setelah perang dunia
berakhir, kami berhasil dengan baik di bidang ekonomi, tapi kami tak
terlalu berhasil dalam cara kami memperlakukan masa lalu,” kata Marianne
Zepp, Ketua Departemen Sejarah dan Demokrasi dari Heinrich Boll
Foundation. Zepp menganggap sisi gelap sejarah Jerman sebagai ”bagian
dari identitas” bangsanya. Sisi ini akan muncul ke permukaan setiap kali
warga Jerman dihadapkan pada pertanyaan menyangkut perang dan
perdamaian, isu Israel dan Yahudi, ataupun isu rasisme dan radikalisme.
Generasi
pasca-Perang Dunia II adalah yang paling merasakan beban ini karena
setidaknya ada anggota keluarga mereka yang ”tersangkut” dengan aib itu.
Prof Dr Wolfgang Wippermann, ahli sejarah modern dari
Friedrich-Meinecke Institut, Freie Universitat Berlin, mengenang betapa
ia dan rekan segenerasinya sulit untuk terbebas dari ikatan
”keterlibatan” itu.
”Saat
itu saya masih mahasiswa. Pada sebuah pertemuan anti-fasisme di tahun
1970-an, saya mengajukan usul agar kita berbicara tentang generasi
orangtua kita. Saya katakan bahwa ayah saya adalah kapten di militer
Jerman (SS, Schutz-Staffel), lalu orang di sebelah saya mengatakan, oh
ayah saya kolonel di situ, lalu ada juga yang mengatakan bahwa ayahnya
adalah pejabat penting dalam kepemimpinan Nazi, sampai akhirnya seorang
politisi ternama dari Partai Hijau angkat bicara dan mengatakan, ayah
saya adalah Albert Speer (arsitek yang dikagumi Hitler dan sejak 1933
membangun gedung-gedung representatif di Berlin, Munchen, dan
Nuernberg—Red),” kata Wippermann.
”Kesimpulannya,
seluruh generasi kami adalah anti-fasis, namun mereka memiliki fascist
relation. Ini mungkin sebuah kesalahan yang menjadi penyebab mengapa
kita tidak terlalu sukses di tahun 1960-an untuk mengajari masyarakat
bagaimana berhadapan dengan masa lalu,” katanya.
Proses panjang
Penerimaan
terhadap aib di masa lalu menjadi sebuah proses panjang dan bertahap.
Usai PD II negeri ini hancur berkeping-keping dan ada sekitar 10 juta
penduduk yang kehilangan tempat tinggal. Belum lagi para pengungsi yang
terusir dari kediamannya setelah wilayah Jerman dipangkas berdasarkan
kesepakatan Postdam. Rakyat Jerman memang tak memiliki pilihan. Untuk
bisa bertahan hidup, mereka harus bangkit dan berkonsentrasi penuh pada
gagasan ”pembangunan kembali”. Membangun kembali ekonomi, kota-kota yang
hancur, dan tentunya membangun kembali kehidupan mereka.
”Rakyat
Jerman harus bekerja untuk bertahan hidup. Selama 30 tahun mentalitas
ini berkembang bahwa Anda harus bekerja keras setiap hari, bahwa Anda
harus menciptakan keajaiban ekonomi, dan seandainya Anda berhasil
mungkin tetangga-tetangga Anda akan melupakan kejahatan yang telah Anda
lakukan di PD II. Dengan kata lain, rakyat Jerman saat itu telah
membantu memunculkan etos negeri ini yang dikaitkan dengan kerja keras
dan mengejar pertumbuhan ekonomi,” kata Klaus Liedtke.
Pihak
Sekutu mengerahkan segala cara agar militerisme Jerman tidak bisa
bangkit lagi, antara lain melalui ”De-Nazifikasi”. Di satu sisi, Sekutu
ingin ”menghukum” Jerman, tapi di sisi lain mereka juga berhati-hati
dalam langkahnya agar rakyat tidak berpaling pada komunisme jika
perekonomian memburuk.
Perang
Dingin pada akhirnya mengubah pendekatan Sekutu. Hal itu tercermin
dalam kebijakan ekonomi yang diterapkan melalui Marshall Plan atau
Europe Recovery Programme. Pada intinya, AS menganggap bahwa sebuah
Eropa yang sejahtera membutuhkan kontribusi ekonomi dari sebuah ”Jerman
yang stabil dan sejahtera”.
Marshall
Plan telah ”berjasa” dalam hal mendepolitisasi industri, di mana
industri lebih terfokus pada peningkatan produktivitas. Karyawan yang
rela digaji rendah, tingkat aksi pemogokan yang rendah, dan menurunnya
karakter militansi dalam tubuh asosiasi buruh, ikut mempercepat
pergerakan ekonomi di Jerman. Inilah yang disebut psikologi
”rebuilding”. (Mary Fulbrook, hal 182).
”Jangan
lupa, bangsa Jerman tidak bangkit dengan sendirinya. Selain ada
Marshall Plan, Jerman juga memperoleh keuntungan dari Perang Korea tahun
1950 dan Perang Vietnam,” kata Sven Hansen, editor Asia-Pasifik surat
kabar Die Tageszeitung.
Kesuksesan
ekonomi menjadi faktor signifikan dalam mengarahkan rakyat Jerman untuk
komit terhadap nilai-nilai demokrasi. ”Demokrasi bukan hanya soal
parlemen atau pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.
Demokrasi juga sangat terkait dengan masa lalu sebuah bangsa dan ketika
kita menyadarinya bahwa kesalahan itu tidak boleh terjadi lagi,” kata
Wippermann yang bangga bahwa para mahasiswanya yang berusia 30 sampai 40
tahun lebih muda dari dirinya dan sama sekali tak memiliki kontak
dengan periode Hitler, tetap kritis dalam menilai sejarah Jerman.
”Tujuan
kita bukanlah bagaimana menguasai masa lalu, tapi bagaimana kita
belajar dari sejarah, dan kemudian menjadikannya sebagai bagian integral
dari identitas nasional kita,” lanjutnya.
Inilah hasil demokrasi yang sesungguhnya. Sebuah proses yang patut ditiru bangsa kita yang sangat mudah melupakan masa lalu.
copas dari http://graciarori.blogspot.de/2010/10/adat-istiadat-etos-kerja-orang-jerman.html