Rabu, 07 November 2012

Cinta di Ujung Jari

" Masih saja kau memburu luka, sedangkan kau tahu sejenak saja kau lengah dia akan berbalik menerkammu." Mata bulat dan bening itu memberinya sebuah peringatan. Peringatan yang tiap kali dia lihat saat kerinduan menjadi api paling bara di dadanya. Mungkin hujan yang di tunggu tak akan padamkan.

" Aku hanya ingin menatapnya hingga memutih nanah." Gadis manis dengan tatap setajam pecahan karang itu...
menjawab. Keteguhan itu tergambar antara sebuah keikhlasan dan juga pertahanan. Mungkin terkadang hatinya berperang serupa senja di mangsa malam.

" Lihat di kedalaman hati kau, Nesya. Lukamu sungguh sudah rengkah, tapi tak jua kau akui itu, wajahmu kian pias dan tiap senja kau selalu menatap gelembung awan. Apa yang kau harapkan. Buat apa lagi kau menatapnya. Menatap luka ."

" Aku menginginkan langit runtuh menimpaku, dan aku mati kemudian." Lalu gadis yang di sebut Nesya berpaling dan satu senyuman sinis tergambar dari lengkungnya yang semula mengalahkan model iklan pasta gigi.

"Kau terlalu bodoh Nesya. Kau bodoh mau berdiri di atas altar cinta buta. Kau lihat di sana ada lelaki yang menunggumu dengan setia tapi kenapa kau malah menunggu Haikal yang jelas-jelas akan berlalu dari hadapanmu, Nesya." Suara perempuan kedua itu meninggi. Sepertinya Ia tak rela gadis yang bernama Nesya itu luka. Terlalu lama.

" Ini bukan urusanmu, Anggun. Kau tak akan paham bagaimana rasanya aku pada Haikal, kau juga tak kan paham aku mencintainya bukan seperti kau dan mereka pikirkan." Lalu pupilnya mengecil sebuah sunggingan kecil membias di wajahnya. Anggun melangkah jauh dengan itu dia tahu sahabatnya luka telah begitu parah.

*to be continue

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Comment :)

Timer

About

Seseorang yang sedang belajar menulis, masih belajar dan terus belajar.

The Visitor of My Blogs

Flag Counter