Dingin kota ini masih belum terlalu akrab dengan suhu
badanku yang masih meng-Indonesia, aku baru datang tanggal 18 Februari kemarin,
tepatnya tiga hari yang lalu, kota ini kota dimana cintaku menetap dan juga
kota dimana aku mengenalnya , tahun 2013 lalu aku datang kesini sebagai tamu
dari seorang wanita yang kukenal dari maya,yang akhirnya aku panggil
Uni,sehingga kedatangan itu membuatku mengenal seorang lelaki pemilik mata
hijau abu-abu dan berhidung merah jambu yang kini telah menjadi junjungan hidup buatku.
Flashback....
Namanya Alif, kami menikah dengannya 2015 lalu, dan pernikahan
itu masih belum ada resepsi dan masih belum sesuai rencana,kita akan resepsi
jika semua urusan selesai, surat-menyurat dan juga visa dan ternyata menikah
lintas negara itu tidaklah mudah, perjuangan itu masih teramat panjang, baru
memulai tepatnya,sehingga rencana demi rencana tersusun dengan indah dan waktu
mengalir sempurna membawa kita pada arah yang sebenarnya.
&&&
Juni 2015 aku telah kembali kekota ini, berangkat menyusul kesayangan,sekalian
ingin liburan musim panas di negara empat musim ini,dan pernikahan yang menginjak
bulan kesekian, dan tanya demi tanya singgah bagai petasan dari segala penjuru
mata angin, pertanyaan standar yang akhirnya terasa menyakitkan.
“ Kamu dah isi belum?”
“ Kamu kan dah beberapa bulan nikah kok masih belum hamil?”
“ Nunggu apalagi, kamu dah tua, dah berumur, kenapa masih
belum hamil?”
Mulai dari pertanyaan standart, baik, menggoda atau bahkan
memojokkan, ah ternyata begini hidup di awal pernikahan itu, jika tak tebal
telinga mungkin saja ingin bikin sup manusia. Ahh sadisnya.
&&&
Setiap perempuan pasti ingin menikmati kodratnya sebagai
seorang perempuan, di panggil ibu, merasakan detak jantung dalam debar, melihat
detak jantung yang demikian degup. Sehingga keinginan itu tersampaikan kepada
sang cinta,namun jawabannya masih mengecewakan.
“ Aku belum ingin kita punya baby sampai semua urusan kita
kelar, aku gak mau kamu repot, karena sebelum visa nasionalmu keluar semuanya
akan rumit nantinya.” Akhirnya aku mengalah dan bersabar untuk menunggu dalam
menyerahkan semuanya sama pemilik kehidupan.
Sehingga waktu berlari cepat, 2015 berakhir dengan sempurna,
visa telah di tangan, tiket telah di booking, dan resepsi impianpun telah di
gelar sehingga sebuah kepergian telah di rancang.
&&&
Bulir- bulir salju dan dingin Februari 2016 menungguku, Frankfurt yang sibuk dan
dingin yang menusuk, aku ingin pulang, kerumah yang hangat, rumah dimana
cintaku berdiam, sehingga ICE 2465 itu membawaku 3 jam perjalanan menuju rumah,
ah aku pulang, aku kembali, aku balik untuk hidup di negeri ini, benua ini, ahh
cinta telah membawaku sejauh ini.
&&&
Ada tawa yang hangat, ada senyum yang melamat, ada rindu
yang tak pernah tamat, dia menjemputku di Haupbahnhof, sebuah pelukan hangat
meredakan dinginku yang gigil, cintalah yang membawaku pulang, pulang pada
rumah kedua setelah rumah dimana kehangatan lain yang kutinggalkan, ada yang
menghangat kurasa, ternyata telah begitu jauh kampung ku tinggalkan. Entah
kapan akan kembali pulang.
Ahh rumah ini masih
sama, belum ada yang berubah, hanya basah embun musim dingin yang tak sama,
hangatnya kini adalah pelukan, harapan yang membubung langit, mengangkasa
seiring doa-doa, ah Tuhan, betapa harapku lebih besar dari badan.
&&&
Ini adalah pagi yang penuh oleh harapan setelah aku kembali,
yah 3 hari yang lalu aku datang, dengan mimpi yang entah mungkin atau tidak,
setelah sebulan yang lalu doa-doa menjura, langit telah berlukiskan angan, menjadi
seorang perempuan yang benar-benar perempuan, sehingga pagi ini aku
memberanikan sesuatu sambil berkomat-kamit menebalkan iman, menerima apapun
yang akan di temui.
Kira-kira jam 10 pagi aku berangkat pergi belanja dan
setelah membaca beberapa research di internet bahwa 4 hari sebelum masa periode
itu telah bisa menunjukan sebuah keajaiban, sebuah keajaiban yang sungguh aku
inginkan, aku membeli sebuah testpack dengan harga termurah,(belajar dari
pengalaman sebelumnya kalau tak berhasil bisa di buang tanpa merasa rugi),
sehingga pulang dengan harapan yang menjulang dan segelas air telah menunggu di
kamar mandi. Dengan nafas yang kembang kempis, dengan dada yang berdegup
kencang, aku mulai dengan segala doa yang memungkinkapan dan memejamkan mata
beberapa saat lalu meninggalkan sampai mengering. Dan dalam 15 menit aku
kembali, masih tidak berani melihat, masih memejamkan mata sambil membaca
ribuan mantra.
Dan, Tuhaaaaaaaaaaaan garisnya dua merah jambu, aku terlonjak,
aku berjingkrak, aku menangis, entahlah mungkin beginilah semua wanita yang
menunggu, ahh Tuhan manis sekali kejutan-Mu, namun ketakutan masih dalam
diriku, sehingga tak percaya pada yang terlihat, tak yakin pada yang tampak dan
biar kian pasti, aku kembali ke supermarket itu, setengah berlari dengan degup
jantung yang memburu, dan mengambil dua lagi alat ajaib itu, dua warna, dengan
harga yang luar biasa.
Dengan gelas baru, air baru, dua gelas, berbeda, aku kembali
mencoba dua-duanya, dan hasilnya masih sama, dua garis merah, yah garis merahh
dan tulisan itu nyata, nyata,sehingga tangis bahagia itu berubah menjadi
ketakutan, mental yang di ganyang. Aku hamil? Siapkah aku? Aku akan jadi ibu?
Siapkah aku?, namun terlebih dari itu aku tertawa, aku bahagia, maaaakk aku
akan jadi ibu, engkau akan punya cucu. Ahh ini februari yang sungguh merah
jambu.
Desty Dasril
Arnstadt, 20 Februari 2016